Gempa bumi dan tsunami merupakan bencana alam yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja di seluruh dunia. Gempa bumi umumnya dikaitkan dengan goncangan tanah yang merupakan hasil dari gelombang elastis yang merambat melalui bumi yang padat. Namun, di dekat sumber gempa bawah laut, dasar laut "secara permanen" terangkat dan turun, mendorong seluruh kolom air ke atas dan ke bawah. Gempa bumi semacam inilah yang memicu terjadinya tsunami. Energi potensial yang dihasilkan dari dorongan air di atas permukaan laut rata-rata ditransfer ke perambatan horizontal gelombang tsunami (energi kinetik).
Pengukuran terhadap gempa bumi dan tsunami adalah bagian pelajaran penting dalam mengenali gejala serta karakteristik gempa bumi dan tsunami baik untuk kesiapsiagaan bencana maupun untuk penanggulangannya. Sehingga memahami metode, alat dan skala pengukuran gempa bumi dan tsunami sangat penting dalam mempersiapkan diri menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami ini sebagai sumber informasi yang sangat berguna dalam mengambil tindakan yang tepat dan meminimalkan risiko kerusakan dan kerugian.
Artikel ini membahas berbagai metode pengukuran gempa bumi dan tsunami, alat-alat yang digunakan serta skala pengukuran yang digunakan pada gempa bumi dan tsunami seperti skala magnitudo, skala Richter, skala MMI, skala tsunami, dan skala run-up. Selain itu pembahasan mengenai alat-alat yang digunakan, seperti seismometer, GPS, hydrophone, dan InSAR dan cara kerjanya
Semoga artikel "Metode, Alat dan Skala Pengukuran Gempa Bumi dan Tsunami" ini dapat memberikan pengetahuan yang bermanfaat sehingga dapat mempersiapkan diri menghadapi gempa bumi dan tsunami.
- Berbagai Metode dan Alat Pengukuran Gempa Bumi dan Tsunami
- Metode Seismik dan Seismograf
- Metode Geodetik dan GPS (Global Positioning System)
- Metode Hidroakustik dan Hydrophone
- Metode InSAR (Interferometry Synthetic Aperture Radar) dan Satelit inSAR
- Skala Pengukuran Gempa Bumi
- Skala Magnitudo
- Skala Richter
- Skala MMI (Modified Mercalli Intensity) atau Skala Intensitas
- Skala Tsunami dan Run-Up Tsunami
- Skala Pengukuran Tsunami
Berbagai Metode dan Alat Pengukuran Gempa Bumi dan Tsunami
Metode Seismik dan Seismometer atau Seismograf
Metode seismik adalah metode pengukuran gempa bumi yang melibatkan pengukuran getaran yang terjadi pada permukaan bumi akibat adanya gempa bumi. Metode ini paling umum digunakan. Data getaran ini kemudian dianalisis untuk menentukan lokasi, kedalaman, dan kekuatan gempa.
Untuk mendeteksi gempa bumi dan tsunami dengan metode seismik, digunakan alat yang disebut sebagai seismometer atau seismograf. Alat ini digunakan untuk merekam getaran yang terjadi pada permukaan bumi akibat adanya gempa bumi atau tsunami.
Seismometer yang digunakan untuk mendeteksi getaran atau gempa bumi ini, sebenarnya telah ditemukan sejak lama oleh John Milne, seorang profesor geologi dari Imperial College of Engineering Tokyo pada tahun 1880. Meskipun alat ini telah ditemukan sejak lama, seismometer telah mengalami banyak perubahan dan pembaruan hingga menjadi lebih canggih dengan perangkat komputer yang dapat membantu dalam pengolahan data dan analisis.
Seismometer bekerja dengan cara merekam getaran pada permukaan bumi menggunakan sensor yang sensitif terhadap gerakan horizontal dan vertikal. Ketika terjadi gempa bumi atau tsunami, sensor pada seismometer akan merekam getaran yang terjadi pada permukaan bumi dan mengubahnya menjadi sinyal listrik yang kemudian direkam oleh perekam data. Data yang diperoleh dari seismometer kemudian dianalisis untuk menentukan lokasi, kedalaman, dan kekuatan gempa bumi atau tsunami.
Metode Geodetik dan GPS (Global Positioning System)
Metode geodetik melibatkan pengukuran perubahan posisi dan bentuk permukaan bumi akibat adanya gempa bumi. Metode ini biasanya menggunakan teknologi GPS dan interferometri radar untuk mengukur perubahan posisi dan bentuk permukaan bumi.
Untuk mendeteksi gempa bumi dan tsunami dengan metode geodetik, alat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System). GPS digunakan untuk mengukur perubahan posisi dan deformasi pada permukaan bumi yang disebabkan oleh gempa bumi dan tsunami.
Cara kerja GPS dalam pengukuran gempa bumi adalah dengan mengirimkan sinyal radio dari satelit ke penerima GPS di permukaan bumi. Penerima GPS mengukur waktu yang dibutuhkan sinyal radio untuk mencapai penerima, dan dengan menggunakan informasi waktu ini, penerima GPS dapat menentukan jarak antara satelit dan penerima GPS. Dengan mengukur jarak dari beberapa satelit, penerima GPS dapat menentukan posisi mereka di permukaan bumi dengan akurasi yang sangat tinggi.
Dalam konteks pemantauan gempa bumi dan tsunami, GPS digunakan untuk mengukur perubahan posisi dan deformasi pada permukaan bumi yang disebabkan oleh gempa bumi dan tsunami. Data GPS kemudian digunakan untuk memodelkan dan memetakan deformasi pada permukaan bumi, yang dapat memberikan informasi tentang lokasi, kedalaman, dan kekuatan gempa bumi atau tsunami.
Namun, metode geodetik tidak selalu digunakan sebagai metode utama untuk mendeteksi gempa bumi dan tsunami. Biasanya, metode geodetik digunakan bersama dengan metode seismik dan hidroakustik untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang gempa bumi dan tsunami.
Metode Hidroakustik dan Hydrophone
Metode hidroakustik digunakan untuk mengukur tsunami di laut lepas. Metode ini melibatkan pengukuran kecepatan gelombang tsunami menggunakan buoy dan sonar.
Untuk mengukur tsunami di laut lepas dengan metode hidroakustik, alat yang digunakan adalah hydrophone atau sensor suara bawah air. Hydrophone digunakan untuk mendeteksi gelombang suara yang dipancarkan oleh tsunami di dalam air.
Proses kerja hidroakustik untuk mendeteksi tsunami melibatkan pengiriman gelombang suara ke dalam air dan mendeteksi kembali gelombang suara yang dipantulkan oleh objek di dalam air, termasuk gelombang tsunami. Hydrophone dapat mendeteksi gelombang suara dari jarak yang sangat jauh dan dapat digunakan untuk mendeteksi tsunami bahkan di laut lepas yang jauh dari pantai.
Saat tsunami terjadi, gelombang suara yang dihasilkan oleh tsunami akan merambat melalui air dan dapat dideteksi oleh hydrophone. Data yang diperoleh dari hydrophone kemudian digunakan untuk memodelkan dan memetakan pergerakan tsunami, yang dapat memberikan informasi tentang lokasi, arah, dan kekuatan tsunami.
Metode hidroakustik biasanya digunakan bersama dengan metode lain seperti pengukuran kedalaman laut dan pengamatan visual dari pesawat terbang untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang pergerakan tsunami.
Metode InSAR (Interferometry Synthetic Aperture Radar) dan Satelit inSAR
Metode InSAR (Interferometry Synthetic Aperture Radar) memetakan perubahan deformasi pada permukaan bumi dengan menggunakan data satelit untuk mengukur perubahan posisi dan bentuk akibat gempa bumi.
Metode ini menggunakan radar satelit yang mengirimkan sinyal ke permukaan bumi dan menerima kembali sinyal yang dipantulkan. Dengan membandingkan sinyal radar yang diterima pada waktu yang berbeda, InSAR dapat mengukur deformasi pada permukaan bumi yang dapat disebabkan oleh gempa bumi, aktivitas vulkanik, ekstraksi air tanah, atau faktor manusia lainnya. Pengukuran perbedaan waktu antara sinyal radar yang dipancarkan dan dipantulkan kembali memetakan perubahan deformasi pada permukaan bumi dengan akurasi yang sangat tinggi.
Data InSAR dapat digunakan untuk memodelkan pergerakan tektonik dan aktivitas vulkanik, yang dapat membantu para peneliti dan ahli geofisika untuk memprediksi lokasi dan waktu terjadinya gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Kegunaan InSAR juga meliputi pemantauan deformasi pada bangunan dan infrastruktur, yang dapat membantu dalam pemantauan kerusakan dan perbaikan pada bangunan dan infrastruktur. InSAR juga dapat digunakan untuk memetakan deformasi pada permukaan bumi yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pengambilan air tanah dan penambangan.Metode InSAR digunakan secara luas dalam penginderaan jauh dan telah digunakan untuk memetakan perubahan deformasi pada permukaan bumi di seluruh dunia. Metode ini biasanya digunakan bersama dengan metode penginderaan jauh lainnya seperti GPS dan penginderaan optik untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang perubahan deformasi pada permukaan bumi. Metode InSAR sangat penting untuk memahami pergerakan tektonik dan aktivitas vulkanik, serta membantu dalam pemantauan dan perbaikan pada bangunan dan infrastruktur.
Skala Pengukuran Gempa Bumi
Terdapat beberapa jenis skala pengukuran gempa bumi dan tsunami yang digunakan untuk mengukur kekuatan dan dampak dari gempa bumi dan tsunami. Berikut adalah beberapa jenis skala pengukuran gempa bumi dan tsunami beserta penjelasannya:
Skala Magnitudo
Skala Magnitudo adalah skala logaritmik yang digunakan untuk mengukur besar gempa bumi berdasarkan energi yang dilepaskan oleh gempa tersebut. Skala ini berkisar dari 0 hingga lebih dari 9, dan setiap peningkatan satu angka pada skala magnitudo mengindikasikan gempa bumi yang 10 kali lebih kuat.
Besaran Skala Magnitudo dinyatakan dalam bilangan bulat dan pecahan desimal. Menurut Michigan Technological University, terdapat beberapa kategori besaran magnitudo, yaitu
- magnitudo 2,5 hingga 5,4 yang hanya menyebabkan kerusakan ringan,
- magnitudo 5,5 hingga 6,0 yang dapat mengakibatkan kerusakan ringan pada bangunan,
- magnitudo 6,1 hingga 6,9 yang dapat menyebabkan banyak kerusakan di daerah yang sangat padat penduduk,
- magnitudo 7,0 hingga 7,9 yang tergolong gempa besar yang mengakibatkan kerusakan serius, dan
- magnitudo 8,0 atau lebih yang termasuk dalam kategori gempa besar dan dapat menghancurkan wilayah pusatnya.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar magnitudo suatu gempa bumi, semakin besar pula dampak yang ditimbulkannya pada lingkungan sekitarnya.
Skala Richter
Skala Richter digunakan untuk mengukur besarnya gempa bumi dengan menggunakan logaritma amplitudo maksimum dari sinyal getaran yang tercatat pada jarak 100 km dari pusat gempa. Namun, skala ini hanya cocok digunakan pada gempa bumi dengan magnitudo di bawah 6,0 dan tidak dapat merepresentasikan perhitungan pada gempa bumi dengan magnitudo di atasnya.
Perlu diingat bahwa terdapat berbagai metode lain untuk menghitung magnitudo gempa bumi selain teknik Richter, sehingga dapat terjadi kesalahpahaman dalam pemberitaan di media tentang besaran magnitudo gempa bumi. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan metode yang digunakan dalam menghitung magnitudo gempa bumi dan memastikan kesesuaian antara instansi yang satu dengan instansi yang lainnya dalam pemberitaannya.
Skala MMI (Modified Mercalli Intensity) atau Skala Intensitas
Intensitas gempa bumi pada permukaan bumi dapat diamati melalui serangkaian efek yang terjadi. Skala intensitas sendiri terdiri dari beberapa respons kunci seperti gerakan orang, pergeseran furnitur, kerusakan pada cerobong asap, dan bahkan hingga kehancuran total. Efek-efek ini memberikan gambaran tentang seberapa besar dampak gempa bumi pada wilayah yang terdampak dan seberapa besar kekuatan gempa tersebut.
MMI atau Modified Mercalli Intensity adalah sebuah singkatan yang merujuk pada skala intensitas gempa bumi yang diciptakan oleh Giuseppe Mercalli pada tahun 1902. Skala Mercalli dirancang untuk mengukur kekuatan gempa bumi dengan mempertimbangkan informasi dari para korban yang selamat dari gempa tersebut serta tingkat kerusakan yang terjadi pada bangunan. Oleh karena itu, skala Mercalli tergolong subjektif dan kurang akurat dibandingkan dengan skala magnitudo gempa bumi yang lain.
Saat ini, Skala Richter lebih banyak digunakan untuk mengukur kekuatan gempa bumi. Meskipun demikian, skala Mercalli yang dimodifikasi oleh Harry Wood dan Frank Neumann pada tahun 1931 masih sering digunakan terutama apabila tidak ada peralatan seismometer yang dapat mengukur kekuatan gempa bumi di lokasi kejadian. Skala MMI masih memiliki peran penting dalam penilaian intensitas gempa bumi meskipun tidak seakurat skala magnitudo.
Skala MMI sebagai skala yang digunakan untuk mengukur intensitas gempa bumi berdasarkan dampak yang dirasakan oleh manusia, lingkungan, dan infrastruktur. Skala ini dapat berbeda-beda tergantung pada lokasi dan jarak dari pusat gempa bumi. Skala ini berkisar dari I hingga XII, dan setiap peningkatan satu angka pada skala MMI mengindikasikan peningkatan intensitas gempa bumi.
Skala Cancani
Skala Cancani adalah sebuah sistem pengukuran gempa bumi yang berdasarkan pada percepatan tanah yang terjadi selama gempa. Skala ini dinamai dari Dr. Antonio Cancani, seorang ahli seismologi asal Italia yang mengembangkan sistem ini pada tahun 1965.Skala Cancani terdiri dari 10 tingkatan, dimulai dari I hingga X. Setiap tingkatannya memiliki rentang percepatan yang berbeda-beda, sehingga dapat memberikan gambaran tentang kekuatan gempa yang terjadi pada suatu wilayah. Berikut adalah penjelasan tentang masing-masing tingkatan pada Skala Cancani:
- Tingkat I: Percepatan tanah kurang dari 0,02 g
- Tingkat II: Percepatan tanah antara 0,02 hingga 0,04 g
- Tingkat III: Percepatan tanah antara 0,04 hingga 0,08 g
- Tingkat IV: Percepatan tanah antara 0,08 hingga 0,16 g
- Tingkat V: Percepatan tanah antara 0,16 hingga 0,32 g
- Tingkat VI: Percepatan tanah antara 0,32 hingga 0,64 g
- Tingkat VII: Percepatan tanah antara 0,64 hingga 1,28 g
- Tingkat VIII: Percepatan tanah antara 1,28 hingga 2,56 g
- Tingkat IX: Percepatan tanah antara 2,56 hingga 5,12 g
- Tingkat X: Percepatan tanah lebih dari 5,12 g
Penggunaan Skala Cancani dapat membantu para ahli seismologi untuk memperkirakan kerusakan dan dampak yang mungkin terjadi akibat gempa bumi. Skala ini juga digunakan untuk menentukan tingkat keamanan bangunan dan infrastruktur pada wilayah yang rawan terkena gempa bumi.
Skala Cancani yang dikembangkan oleh Dr. Antonio Cancani pada tahun 1965 dan masih digunakan hingga saat ini. Meskipun sudah ada skala pengukuran gempa yang lebih modern seperti Skala Magnitudo Moment, Skala Cancani masih digunakan di beberapa negara sebagai alat bantu dalam mengevaluasi risiko gempa bumi dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat
Skala Pengukuran Tsunami
Sejarah Skala Pengukuran Tsunami
Skala intensitas Imamura-Iida ini banyak digunakan dalam katalogisasi sejarah tsunami di Samudra Pasifik.
Seorang peneliti bernama S.Soloviev (Soloviev, 1972) telah melakukan modifikasi penting pada skala Intensitas tsunami. Ia mengusulkan rumus untuk menghitung intensitas tsunami, yaitu
I = ½ + log2 Hav
Nilai Hav merupakan tinggi gelombang rata-rata di sepanjang pantai terdekat. Soloviev berpendapat bahwa nilai ini lebih stabil dan lebih terkait erat dengan total energi tsunami yang dipancarkan oleh sumbernya. Dalam katalognya, Soloviev mengevaluasi intensitas sejumlah besar tsunami di Pasifik menggunakan skala ini. Skala I juga digunakan sebagai parameter utama untuk menggambarkan ukuran tsunami dalam database tsunami global NGDC/NOAA dan NTL/ICMMG.
Jenis Skala Pengukuran Tsunami
Skala pengukuran tsunami terdiri dari 2 tingkatan, yaitu Skala Intensitas Tsunami dan Skala Energi Tsunami.
Skala Intensitas Tsunami
1. Skala Intensitas NEAMTIC
Skala Intensitas Tsunami mengukur tinggi dan kekuatan gelombang tsunami berdasarkan pengamatan visual pada pantai dan bangunan-bangunan yang terkena dampak tsunami. Skala ini terdiri dari 12 tingkatan, dimulai dari I hingga XII. Setiap tingkatannya memiliki rentang ketinggian dan kekuatan yang berbeda-beda, sehingga dapat memberikan gambaran tentang kekuatan gelombang tsunami yang terjadi pada suatu wilayah.Tingkatan pada Skala Intensitas Tsunami menurut North-Estern And Mediterranean Tsunami Information Center (NEAMTIC) (http://neamtic.ioc-unesco.org/images/Neamtic/PDF/intensity-scale.pdf)
- Tingkat I: Tidak terlihat oleh manusia tidak terasa, Tidak dirasakan bahkan dalam keadaan yang paling menguntungkan, Tidak memberikan efek apapun, Tidak menyebabkan kerusakan.
- Tingkat II: Tidak terlihat oleh manusia, tetapi dapat dideteksi oleh alat pengukur
- Tingkat III: Terlihat oleh manusia, tetapi tidak menyebabkan kerusakan
- Tingkat IV: Terlihat oleh manusia, dan menyebabkan kerusakan kecil pada bangunan
- Tingkat V: Terlihat oleh manusia, dan menyebabkan kerusakan sedang pada bangunan
- Tingkat VI: Terlihat oleh manusia, dan menyebabkan kerusakan besar pada bangunan
- Tingkat VII: Terlihat oleh manusia, dan menyebabkan kerusakan parah pada bangunan
- Tingkat VIII: Terlihat oleh manusia, dan menyebabkan kerusakan sangat parah pada bangunan
- Tingkat IX: Terlihat oleh manusia, dan menyebabkan kerusakan hampir total pada bangunan
- Tingkat X: Terlihat oleh manusia, dan menyebabkan kerusakan total pada bangunan
- Tingkat XI: Terlihat oleh manusia, dan menyebabkan kerusakan total pada bangunan serta terjadi kerusakan pada lapisan bumi
- Tingkat XII: Terlihat oleh manusia, dan menyebabkan kerusakan total pada bangunan serta terjadi perubahan besar pada lapisan bumi
2. Skala Run-up
Skala Run-up adalah skala yang digunakan untuk mengukur tinggi maksimum gelombang tsunami saat mencapai pantai. Skala ini bergantung pada lokasi dan topografi pantai, dan dapat digunakan untuk mengevaluasi risiko tsunami di wilayah pantai. Skala ini dinamai dari cara pengukurannya, yaitu dengan mengukur jarak vertikal antara garis pantai normal dan titik tertinggi yang dicapai oleh gelombang tsunami.
Skala Run Up terdiri dari 6 tingkatan, dimulai dari I hingga VI. Setiap tingkatannya memiliki rentang ketinggian yang berbeda-beda, sehingga dapat memberikan gambaran tentang kekuatan gelombang tsunami yang terjadi pada suatu wilayah. Berikut adalah penjelasan tentang masing-masing tingkatan pada Skala Run Up:
Tingkat I: Kurang dari 0,5 meter
Tingkat II: Antara 0,5 hingga 1 meter
Tingkat III: Antara 1 hingga 3 meter
Tingkat IV: Antara 3 hingga 5 meter
Tingkat V: Antara 5 hingga 10 meter
Tingkat VI: Lebih dari 10 meter
Penggunaan Skala Run Up dapat membantu para ahli untuk memperkirakan kerusakan dan dampak yang mungkin terjadi akibat gelombang tsunami. Skala ini juga digunakan untuk menentukan tingkat keamanan bangunan dan infrastruktur pada wilayah yang rawan terkena gelombang tsunami.
Sekali lagi, Skala Run Up tidak memiliki penemu yang spesifik karena cara pengukurannya didasarkan pada prinsip pengukuran ketinggian gelombang tsunami yang sudah lama digunakan oleh para ahli seismologi, dan masing masing seismologi memiliki tingkatan tersendiri tergantung pada karakteristik kejadian tsunami di suatu wilayah. Skala ini masih digunakan hingga saat ini sebagai alat bantu dalam mengevaluasi risiko gelombang tsunami dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat.
Skala Energi Tsunami
Salah satu metode terbaik untuk memperkirakan ukuran tsunami adalah dengan mengukur energi totalnya. Tipe skala magnitudo yang sebenarnya diusulkan oleh T.Murty dan H.Loomis (Murty, Loomis, 1980). Dalam penelitiannya, T.Murty dan H.Loomis mendefinisikan nilai ML sebagaiML = 2 (log E - 19),
di mana E merupakan energi tsunami dalam satuan ergs.
Nilai ML dihitung untuk sekitar 25 tsunami terbesar di Samudra Pasifik. Setelah itu, hampir tidak ada perhitungan ML baru yang dilakukan. Hal ini dikarenakan perhitungan nilai ML yang tidak mudah dilakukan, mengingat membutuhkan pengetahuan tentang perpindahan awal pada sumber tsunami atau bentuk gelombang tsunami di lokasi dan arah yang berbeda, yang tidak selalu dapat diketahui untuk setiap tsunami yang terjadi.
Pada tahun 1979, K.Abe (Abe, 1979, 1981) memperkenalkan skala magnitudo tsunami terbaru, yang disebut Mt. Skala ini didasarkan pada pengukuran instrumental ketinggian tsunami dan dihitung menggunakan amplitudo maksimum gelombang tsunami yang direkam oleh alat pengukur pasang surut. Rumus untuk menghitung Mt adalah
Mt = a lg h + b lg R + D,
di mana h adalah amplitudo gelombang tsunami maksimum yang diukur dalam satuan meter, R adalah jarak episentral dalam satuan kilometer, dan a, b, dan D adalah konstanta yang ditentukan untuk memastikan hubungan yang erat antara skala Mt dan skala Mw (magnitudo momen).
Skala Mt ini dianggap sebagai skala magnitudo yang sebenarnya karena menggunakan parameter kuantitatif (ketinggian gelombang instrumental) dan mencakup koreksi untuk propagasi gelombang dengan jarak. Penting untuk dicatat bahwa nilai R harus lebih besar dari 100 km dari sumber tsunami.
Skala Energi Tsunami lainnya mengukur energi yang dilepaskan oleh gelombang tsunami pada suatu wilayah. Skala ini menggunakan satuan energi Joule dan terdiri dari 5 tingkatan, dimulai dari 10^12 Joule hingga lebih dari 10^18 Joule. Skala ini juga digunakan oleh para ahli seismologi untuk memperkirakan kekuatan dan potensi kerusakan yang mungkin terjadi akibat gelombang tsunami.
Skala Kerusakan Bangunan Akibat Gempa Bumi dan Tsunami
Klasifikasi kerusakan bangunan akibat gempa bumi sudah terdefinisi dengan baik (misalnya Coburn dan Spence, 1992) klasifikasi sejenis masih belum tersedia untuk kerusakan bangunan akibat tsunami. Saat ini hanya klasifikasi kasar yang digunakan untuk menghubungkan dengan skala intensitas tsunami. Adapun Klasifikasi kerusakan bangunan sehubungan dengan skala intensitas tsunami, yaitu:
- Tingkat 1 untuk kerusakan ringan,
- Tingkat 2 untuk kerusakan sedang,
- Tingkat 3 untuk kerusakan berat,
- Tingkat 4 untuk kehancuran, dan
- Tingkat 5 untuk kerusakan total.
Dalam pengukuran gempa bumi dan tsunami, penggunaan skala yang tepat dan akurat sangat penting untuk memahami kekuatan dan dampak dari bencana alam tersebut. Semua jenis skala ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga penggunaannya harus disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan pengukuran yang diinginkan.
Referensi
NGDC/NOAA = National Geophysical Data Center/ National Oceanic and Atmospheric Administration
NTL/ICMMG = Novosibirsk Tsunami Laboratory of the Institute of Computational Mathematics and Mathematical Geophysics
Demikian artikel Metode, Alat dan Skala Pengukuran Gempa Bumi dan Tsunami, semoga bermanfaat dan Stay Safe !!!